Sabtu, 09 April 2016

Jumpalitan Mencari Edi ~Sebuah Pengalaman Menggunakan Google Map~


“Ini kesempatan terakhir” pikirku. Aku berpikir bahwa ini adalah kesempatan terakhir yang bisa diambil agar kami tak kehilangan kontak dengan Edi, salah satu sahabat dan teman satu kos kami. Bagaimana tidak? Edi yang memiliki karakter khas orang Solo yang pendiam, kalem dan pemalu tingkat akut tidak pernah mau memberikan alamat rumahnya.

Sejak dia masih mahasiswa baru tahun 2009 hingga lulus dan pulang kampung tahun ini, aku tak pernah berhasil mengunjungi rumahnya padahal sebenarnya dekat dari sini. Jika ditanya langsung saja dia tak menjawab dan hanya tersenyum kalem misterius, apalagi kalau hanya disms atau ditelpon. Tak bakalan dibalas atau diangkat jika memang bukan hal yang dia anggab penting dan urgent bagi kepentingan bersama. Ajaib kan?


Dia tipe orang super kalem yang tak banyak memberikan respon maupun ekspresi terhadap lingkungan sekitar. Apapun ditanggapi dengan kalem dan diam. Saat marah pun dia hanya diam tak pernah meledak-ledak. Ada kalanya dia tiba-tiba mengeluarkan celetukan lucu dan tertawa namun lebih banyak ditahan. Mungkin celetukannya biasa saja, tapi karena yang mengeluarkan celetukan itu adalah seorang Edi dengan karakternya yang demikian, bagi kami jadi sangat lucu karena sangat langka. Tapi bagaimanapun karakter dan kebiasaannya, dia tetaplah teman dan sahabat terbaik kami yang kami hargai segala keunikannya.

Misi “penyerbuan” dimulai dengan berburu alamatnya. Karena tak berhasil mendapatkan alamat darinya langsung, maka langkah yang aku tempuh adalah dengan menghubungi orang Pengajaran di Fakultas. Tadinya mau langsung datang ke kampus untuk mencari informasi, tapi setelahnya baru ingat kalau punya kenalan yang bekerja disana. Jadinya PM dia saja agar dicarikan data alamat Edi yang tercatat di data mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Alhamdulillah akhirnya dapat alamatnya. Meskipun tak detail karena alamat di kampung mana ada yang detail. Ada RT-Rw-nya saja sudah bagus.

Aku mengajak Hendri Kurniawan juga, teman satu jurusan dan satu kamarnya Edi. Jadi Hendri aku minta untuk datang ke rumahku terlebih dahulu, dan kemudian kami mencari alamat Edi. Sekarang kan teknologi sudah canggih ya, jadi tak butuh waktu lama untuk mencari daerah tempat inggal Edi di peta google. Ternyata dekat dengan daerah Solo Baru. Tepatnya di dekat Pasar Mbekonang ke arah selatan.

Saat melihat peta di google aku sempat pusing dengan pola ruas jalannya yang begitu rumit. Belum pernah lewat daerah itu. Akhirnya kami pilih jalur yang lurus-lurus saja. Kami catat ancer-ancernya berdasarkan bangunan yang ada ataupun kios-kios yang berdiri di sekitar ruas jalan. Kami memililh untuk lurus Jalan Slamet Riyadi, kemudian ketika menemukan Rumah Makan Duta Minang belok kanan ke jalan Yos Sudarso. Setelahnya belok kiri jalan Veteran dan lurus saja sampai jalan Pramuka menuju pasar Mbekonang. Dari pasar Mbekonang kemudian ke arah selatan melewati jalan Abdul Latief. Setelahnya tinggal tanya-tanya orang saja nanti.




Tapi itu baru rencana. Dan adakalanya rencana itu tinggal rencana. Saat kami menelusuri Jalan Slamet Riyadi, kami mencari ancer-ancer gedung Museum Batik Danar Hadi. Ketemu, tapi kok di kanan jalan? Di googlemap bangunannya di kiri jalan. Jadi kami tidak yakin kalau betulan yang itu. Jadi terus lurus saja sambil menoleh ke arah kanan jalan terus. Gara-gara itu kami hampir tertabrak mobil kijang ugal-ugalan yang menyerobot lampu merah. Untung ini di Solo, kalau di Malang sudah aku teriakin pakai nama salah satu hewan piaraan. “Dasar Kucing!” begitu misalnya. Gara-gara tak fokus itulah kami tak menemukan ancer-ancer yang seharusnya. Malah kebablasan sampai Keraton. Sampai depan Keraton jadi kebingungan ini harus lewat mana lagi.

Google Map pun jadi pilihan solusi saat itu. Kami mulai searching dengan menentukan arah wilayah tujuan dan menentukan titik awal keberadaan kami. Kami pilih posisi awal di depan Kantor Pos Solo dengan mode car atau mobil. Sempat bingung harus ke arah mana karena terbalik-balik posisinya. Setelah ketemu arahnya kami pun mulai jalan dengan memilih jalur tercepat yang ditawarkan oleh google map.

Semula kami kira jalan yang ditawarkan google map ini adalah jalur yang besar dan ramai. Tapi ternyata jalur yang katanya jalan tercepat untuk sampai daerah tujuan ini melewati kampung-kampung yang ruwet. Jalannya berupa gang-gang sempit yang jika dilewati satu motor saja ternyata sulit. Sempat keluar jalur beberapa kali, bolak-balik agar bisa kembali di posisi jalur biru yang ditunjukkan oleh google map, tapi pada akhirnya kami malah kebingungan dan... dan... kami tersesat di labirin. 

Hendri akhirnya inisiatif bertanya kepada seorang bapak penjual alat rumah tangga. Dan dari beliau, kami mendapatkan arah jalan yang ternyata lebih lempeng, lebih lancar dan lurus. Bahkan langsung menuju Jalan Pramuka. Dasar google map!

Saat sudah di jalan besar menuju Pasar Mbekonang, google map kembali berbunyi, 

“200 meter lagi belok ke arah kanan”. 

Belum sampai pasar Mbekonang kok sudah disuruh belok kanan? Tapi aku turuti saja apa kemauan google map. Tapi kok lewat sawah-sawah begini? Indah sih pemandangannya. Tapi jalanan beraspal hancur yang dilewati jelas tak bersahabat dengan motorku yang bannya baru saja diganti. Berkilo-kilo meter jalanan terjal persawahan kami lalui sambil berteriak, 

“Ediiiii lihat perjuangan kami demi bertemu denganmuuuu!”

Saat kami masih berjalan di jalanan aspal menuju arah pemukiman, tiba-tiba google map berbunyi lagi, 

“200 meter lagi belok kiri ke arah timur”. Kami belok ke arah tiur. 

Lalu bunyi lagi, "100 meter lagi belok kanan ke arah selatan". 

Sempat berpikir, kok diputar-putar begini ya?

Akhirnya kami berhenti dulu buat foto-foto selfie. Ada pemandangan bagus masa' dilewatin begitu saja. Saat sedang asyik selfie tiba-tiba google map berbunyi lagi,

"Lurus saja satu kilometer ke depan."

"Cerewet saja. Bentar lagi napa, lagi istirahat juga!" kubentak hapeku sendiri.

Setelahnya kami lurus lagi ke arah selatan dn google map kembali berbunyi, "100 meter lagi belok kiri." Kami berhenti di sebuah pertigaan dan bertanya-tanya, “Masa’ belok kiri disini?”. Jalan yang dimaksut oleg google map adalah jalan setapak penuh rerumputan yang tentu saja itu bukan jalan ideal untuk kendaraan bermotor. Tapi kami turuti saja lewat jalan itu. Aku mengemudikan motor dengan sangat hati-hati. Kalau selip sedikit saja kami bisa tercebur di parit sawah. 

Pas sudah sampai tengah-tengah areal persawahan, google map berbunyi lagi, “Anda sudah sampai”. 

Apa?! Masa’ sudah sampai? Ini tuh masih di tengah sawah, masa’ Edi tinggalnya nyungsep di tengah persawahan begini kan gak mungkin banget. 

Karena jengkel aku teriak-teriak, “Ediiii...Ediiiii.. dimana kamu?!” sambil mencari-cari di antara rerimbunan semak dan hamparan padi.

Jadi kami teruskan saja perjalanan kami sampai jalan Raya meskipun sempat dicegat oleh segerombolan kambing yang tak mau minggir meskipun kami sudah berusaha menyogok mereka dengan upeti rumput.

Sampai jalan raya, ternyata kami baru menyadari kalau jalan itu adalah jalan Abdul Latief yang hendak kami tuju. Ya ampuuun ternyata ada jalan yang lebih lancar dan mudah daripada jalan yang kami lewati tadi. Tahu gitu mendingan kami lewat pasar Mbekonang saja tadi dan tak usah menggubris petunjuk yang diberikan google map tadi. Mengikuti petunjuk google map, bukannya mendapatkan jalan yang lurus, malah disesatkan di daerah antah berantah.

Di jalan Abdul Latief kami bertanya kepada seorang bapak tentang lokasi Kerten Ngombakan. Kami diberi arahan untuk lurus saja ke arah barat dari pertigaan pertama jalan itu. Ternyata tanya orang masih lebih efektif kan? Lain kali kalau mau menggunakan google map mendingan ketika betul-betul kepepet saja. Jika masih ada orang di sekitar lokasi, mendingan tanya saja, kan tak ada salahnya bersosialisasi daripada disesatkan oleh google map yang belum tentu akurat kalau di daerah terpencil.

Dan sampai lah kami di lokasi. Bahkan RT-Rwnya saja sudah tepat disitu.

Tapi apa? Saat bertanya kepada orang-orang di sekitar situ ternyata tak satupun yang mengenal siapa itu Edi Abdul Basri. Oh my God! Terus bagaimana ini? Aku akhirnya menelpon Edi. Kutekan tombol call. Tuuut...tuuuut...tuuuut. Tak diangkat. Telpon sekali lagi Tuuuut...tuuuuut...tuuuuuut, tak diangkat lagi. Telpon sekali lagi tetap tak diangkat. Ya ampun kebiasaan lama.

Hendri juga turut menelpon Edi. Dan sama saja tak diangkat. 

Jadinya kami istirahat dulu di mesjid terdekat situ sambil numpang ngecharge hape. Aku sms Edi kalau kami sudah di Kerten dan berharap dia memberitahukan lokasi rumahnya karena kami sudah terlanjur sampai sini. Masa’ ya tega membiarkan teman-temannya terkatung-katung di dekat tempat tinggalnya dengan hasil yang sia-sia.

Satu jam menunggu ternyata tak dibalas juga. Ditelpon juga tak diangkat. OMG, bener-bener anak ini. Aku tak mau kedatanganku kesini sia-sia begitu saja. Sudah banyak kekonyolan dan kesialan kami alami selama perjalanan kesini. Masa’ mau balik pulang begitu saja tanpa bertemu dengan Edi?
Kami harus mencari pak RT sini. Pak RT pasti tahu data penduduknya sendiri. Ketemu. Kami menemukan rumah pak RT yang ternyata adalah rumah tempat kami bertanya sebelumnya juga. Hanya saja tadinya yang kami tanya adalah ibu-ibu tua penjual bensin dan beliaunya tak tahu siapa itu Edi. Pak RT kami tanya. Semula tak tahu juga karena kami bertanya tentang “Edi Abdul Basri”. Tapi pas kami tanya “Basri” yang dulu kuliah di UB, akhirnya beliau baru ngeh dan bilang, “Oh anaknya pak Sadimin” dan kemudian memberikan arahan menuju rumah Edi.

Ancer-ancernya berupa mushola kecil pinggir jalan. Sampai di mushola itu kami masih ragu dan bertanya kepada ibu warung dekat situ. Ibu warung itu membenarkan kalau rumahnya memang benar yang di dekat mushola itu. Kami kemudian masuk ke halaman rumah itu dan mengetuk pintu rumah yang sebenarnya sudah terbuka. Ah aku lihat helm punyanya Edi tergeletak di dalam ruangan depan. Sepertinya memang ini rumahnya. Apalagi ketika seorang bapak paruh baya yang mirip sekali dengan Edi keluar dan bertanya, “Rencangipun Edi nggih? Saking pundi?” ~Temannya Edi ya? Dari mana?~ Kami jawab, “Nggih pak. Saking Malang.”

Bapak itu mempersilakan kami masuk dan kemudian ke belakang memanggil seseorang. Dan... tadaaa Edi keluar. Akhirnya. Aku lega setelah betulan bisa bertemu dengannya. Tapi, alih-alih dapat sambutan heboh, dengan ekspresi datar dia malah bilang, “Kok gak sms dulu sebelum kesini?”

Hellooou, aku sudah sms berkali-kali tak dibalas. Atau kalau aku sms dulu mungkin dia malah kabur. Hahaha.

Tapi Alhamdulillah, akhirnya bernar-benar bersua dengannya. Jadi usaha dan perjalanan panjang kami tak sia-sia.



NB: Sori tak pajang foto yang namanya Edi. Karena yang bersangkutan menganut mahzab No Photo.
Jadi hargai privasinya lah, hihihi

1 komentar:

  1. Karena beberapa kali salah, saya sekarang lebih suka bertanya sama orang sekitar selain pakai Google Map

    BalasHapus