Detak
waktu seakan enggan tuk bertambah..
Menemani
gelisahku di malam ini..
Benarkah
Tuhan ia kini telah pergi..
Lagu
tema film “Ketika Mas Gagah Pergi” mengalun manis di telinga. Salah satu penanda bahwa
kisah legendaris itu telah rampung dan siap dinikmati para “Pemuja”nya.
Bagaimana tidak legendaris ketika begitu banyak orang memperoleh jalan hidayah
karenanya.
Termasuk diri saya sendiri yang juga memperoleh pencerahan dari kisah yang begitu
mempesona.
Tapi ada satu hal yang sempat mengganjal di benak saya.
Apakah orang seperti saya
bisa jadi tegar dan bijak seperti Mas Gagah yang digambarkan dalam cerpen itu?
Yang bisa mendakwahi adiknya sendiri dengan begitu lembut dan bijaksana karena saya
sendiri juga memiliki masalah yang hampir sama. Dan masalah itu adalah adik
perempuan saya yang bandel, pembangkang dan suka membuat masalah dimana-mana.
Bahkan kalau boleh dikata, mungkin jauh lebih parah dari tokoh bernama Gita.
Terkadang sempat bertanya, apakah saya harus pergi dahulu
seperti Mas Gagah agar adik perempuan saya juga mendapat hidayah? Apakah saya
harus mati dahulu agar adik perempuan saya mendapatkan kesadaran sepenuhya?
Di balik sikap saya yang
cuek, selalu ceria dan supel ke orang selama ini sebenarnya saya
menyembunyikan kegundahan. Gundah yang kian menggunung dan tak tahu kapan meledaknya jika mengingat adik
perempuan saya yang nomer tiga.
Anna.
Itulah nama cantik yang diberikan padanya. Nama yang penuh harapan doa agar dia
kelak menjadi perempuan yang tak hanya cantik zahir tapi juga batinnya. Namun
doa terkadang tak langsung dikabulkan. Keinginan pun tak serta-merta
kesampaian. Akan selalu ada aral melintang di antara ikhtiar dan cobaan.
Saat TK
anak itu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kebengalannya. Sudah tak pernah
mau memakai rok lagi di rumah. Hanya memakai rok di sekolah. Gaya, sikap dan
watak pun sudah mulai tomboi dan berperilaku seperti anak lelaki kebanyakan.
Tak pernah kami mendapatinya pulang dari sekolah dalam keadaan menangis karena
diganggu temannya. Justru kami malah mendapatkan laporan dari tetangga yang
kurang lebih bernada sama, “Tadi adikmu habis memukul temannya.”, “Anaknya pak
Nyoto tadi dicakar adikmu sampai menangis.” Jadi justru dialah yang menjadi pembuat
masalah di sekolah. Kami hanya bisa memintakan maaf ke para korban dan
mengharap maklum karena di antara 3 bersaudara dia sendiri yang perempuan.
Lainnya laki-laki semua dan mungkin saja sikapnya jadi terbawa-bawa.
Di SD
anak itu mulai membuat genk dengan teman-temannya sekelas. Dia ketuanya.
Mungkin terpengaruh sinetron di televisi saat itu. Karena siaran tivi kian hari
memang semakin tak mendidik. Dan naasnya saya saat itu harus berpisah darinya
karena harus melanjutkan studi saya ke kota Malang. Pulang kampung pun jarang
jadi tak begitu mengikuti perkembangan kesehariannya.
Sampai
suatu ketika saya mengetahui ternyata di rumah anak itu semakin bengal dan
mulai membangkang ke orangtua. Sudah tak bisa biberitahu lagi meskipun masih
pada usia sekolah dasar. Mungkin salah satu sebabnya karena bapak saya terlalu
keras padanya. Dan dia tipe tak bisa dikerasi.
Di sekolah
sering sekali membuat masalah. Entah itu pertengkaran dengan temannya, membuat
gaduh di kelas, menyepelekan gurunya dan segala macam. Dan itu membuat citranya
di sekolah menjadi buruk. Bahkan ketika terjadi masalah apapun setelah itu,
meskipun dia tak salah akhirnya jadi dipersalahkan.
Anak itu
cerdas sekali sebenarnya. Setiap belajar sesuatu bisa menguasainya dengan
sangat cepat. Guru-gurunya mengakui hal itu. Seperti saat komputer-komputer
sekolah rusak semua sistemnya, ternyata anak itu bisa memperbaiki semuanya dan
tak ada yang tahu dia belajar dari mana. Hanya saja mereka menyayangkan, “Emane
ora isoh dipaku” yang artinya, sayang tak bisa dikendalikan.
Soal prestasi
akademik jangan ditanya. Semua jeblok nilainya. Sebenarnya bukan karena dia
bodoh, tapi karena dia malas mengerjakan. Guru-guru pun tak ada yang minat
memberikan mandat untuk mengikuti perlombaan dan sebagainya. Sampai suatu
ketika, guru-guru di sekolahnya termaksa mengajukan dia untuk ikut lomba
Mocopat Islami sekaresidenan Surakarta. Denga setengah hati tentunya karena
mereka sudah pesimis dengan kemampuan anak ini. Tapi siapa sangka, babak demi
babak dimenangkan dan bahkan meraih gelar juara umum.
Guru-guru
di sekolahnya akhirnya mulai memperhitungkan anak ini. Ibu dan bapak terharu,
saya pun turut terharu saat mendengar kabarnya meskipun dari kejauhan. Sayang sistem
pendidikan di Indonesia saat ini belum mendukung anak-anak berbakat khusus.
Masih dipukul rata dengan paksaan untuk menguasai segala macam pelajaran dari
berbagai bidang.
Pernah suatu
ketika saat lebaran saya lihat anak itu mengendarai motor besar entah milik
siapa. Saya bertanya ke bapak saya, apakah beliau mengajarinya? Beliau jawab,
tidak. Saya kemudian bertanya kepada adik edua saya yang laki-laki apakah dia
mengajarinya? Ternyata tidak juga. Lalu siapa yang mengajarinya? Pertanyaan itu
kemudian terjawab saat lebaran ada serombongan tamu tak dikenal datang. Mereka bertampang
sangar, badan mereka tingggi besar dan tampak seperti preman pasar. Namun
ternyata mereka sangat ramah dan bertanya, “Anna ada pak?”
Ternyata
mereka teman-teman Anna, dan mereka itu adalah pekerja bangunan yang sedang
mengerjakan proyek pembangunan perumahan sebelah kampung. Jadi ceritanya, Anna
setiap pulang ke sekolah suka mengunjungi mereka dan ngobrol hangat. Sesuatu
yang sangat tak lazim dilakukan anak kelas 5 SD. Perempuan pula.
Dan
motor besar itu adalah kepunyaan mereka dan merekalah yang selama ini mengajari
Anna mengendarainya. Latar belakangnya karena mereka suka minta tolong Anna
untuk membelikan makanan atau minuman, dan mereka meminta Anna agar memakai
motor itu kalau mau mondar-mandir.
Tak cukup
sampai disitu. Saat SMP, adik saya yang kedua pulang dari sekolah Anna dalam
keadaan marah-marah. Sambil marah dia bilang, “Lain kali kalau Anna belum juara
1 aku gak sudi engambilkan rapornya lagi! Malu-maluin saja!”
Usut punya
usut ternyata dia sempat diwejangi wali kelas Anna di depan kelas. Dia
diceramahi yang isinya kelakuan buruk Anna di sekolah selama satu smester itu.
Bayangkan saja anak baru kelas satu tapi sudah berani menantang
senior-seniornya di kelas dua dan tiga. Ceritanya dia sempat dilabrak anak kelas
tiga di kelasnya, diancam, “Kamu itu masih baru disini! Gak usah macam-macam”.
Tapi dasar anak bengal, bukannya takut atas ancaman itu, dia malah menantang
anak-anak kelas tiga itu untuk duel di luar. Saat duel tak satupun dari mereka
yang menang melawannya. Semuanya keok dan Anna pun jadi disegani di sekolah.
Kelas dua dan kelas tiga semua takut tak ada yang berani melawannya.
Saat dia
ditembak teman laki-lakinya di depan teman satu genknya, dia jadi malu dan
sempat bersumpah serapah mengeluarkan nama-nama anggota kebun binatang. Gurunya
pun sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
Saat
ujian smester juga berulah. Seumur-umur sekolah saya tak pernah menemukan
kejadian serupa. Biasanya saat ujian kita diberi nomer urut ujian yang
menunjukkan dimana tempat duduk dan kelas kita kan? Tapi tidak berlaku baginya.
Dia tidak menempati kelas yang seharusnya. Dia berpindah-pindah kelas sesuai
mood. Kalau sedang cocok sama teman yang di kelas itu maka dia akan pindah ke
tempatnya. Gurunya sampai hafal, jika di absensi kelas dia dipanggil tak ada,
gurunya tak akan berpikir bahwa Anna tidak masuk. Guru-gurunya akan berpikir, “Pasti
pindah ke kelas lain!” dan ternyata memang benar ketemu di kelas lain.
Sampai
suatu saat bapak tiba-tiba datang ke Malang dan curhat tentang Anna. Selama itu
beliau menyembunyikan berbagai masalah besar terkait Anna. Dan saat itulah
puncaknya. Anna hilang selama 2 minggu. Pihak keluarga mencari kemana-mana,
pihak sekolah pun turut mencarinya. Bahkan sampai melibatkan kepolisian segala.
Tetap tak ditemukan.
Jadinya,
pihak sekolah sudah angkat tangan dan berniat mengeluarkannya dari sekolah.
Bapak hanya bisa pasrah saat itu.
Setelah dua
minggu Ibu bertemu dengan tetangga yang baru pulang dari Semarang. Tetangga itu
bilang ke ibu, “Lho Min, tadi aku ketemu Anna di Ungaran.”
Ibu
heran dan bertanya, “Iya kah? Dia mau kemana Budhe?”
Tetangga
itu menjawab, “Bukan dia mau kemana, tapi justru dia yang jadi kenek bis
Solo-Semarang yang aku naiki tadi.”
Ibu
sempat syok ternyata Anna hilang dua minggu itu dia jadi kenek bis
Solo-Semarang dan bahkan sempat menjadi kenek angkot jurusan Ampel. Dia juga
sempat mengemudikan beberapa bis dan truk angkut. Ibu sempat kepikiran terus
terhadap anak ini sampai sakit-sakitan. Tapi keluarga besar selalu menasehati
agar sabar. Mereka berkata, “Yasudah gapapa. Punya anak empat, yang dua kalem
dan yang dua bengal ya wajar saja. Komplit-komplinya dunia lah. Jagan dipikir
terlalu berat nanti kamu jadi sakit. Santai saja sambil didoakan. Insya Allah
kalau sudah waktunya juga sadar sendiri.”
Saat
mendengar kabar itu saya sangat sedih. Sedih karena memikirkan perasaan
orangtua dan sedih ternyata adik perempuan saya satu-satunya bisa berperilaku
seperti itu. Perilaku yang sangat jauh dari harapan saya selama ini yang jauh
darinya. Mungkin perlu diketahui bahwa di balik alasan mengapa saya membuat kartun-kartun muslimah
Kawanimut itu,
salah satu impian terbesarnya adalah: Suatu ketika adik perempuan
saya akan berkepribadian seperti muslimah yang saya gambarkan. Atau paling
tidak, bisa dimulai dengan berhijab seperti kartun muslimah yang saya
tampilkan.
Namun
sempat seolah
menemui jalan buntu. Anak itu benar-benar semakin tidak terkendali. Dilembuti
tidak bisa, keras pun juga tidak bisa. Pergaulan semakin tidak benar, keluar
dari sekolah, menganggur dan keluyuran kemana-mana. Semula saya dan keluarga masih sabar dan berharap Insya Allah ke depannya bisa membaik.
Saya selalu lembut menasehatinya dan selalu menguatkannya ketika dia ada
masalah entah dengan orang lain atau dengan internal keluarga.
Itu bertepatan
dengan saat dia mengikuti grup Punk di kota kami. Komunitas anti kemapanan yang
sampai saat ini saya masih belum bisa menerima cara hidup mereka. Belum paham
sepenuhnya terhadap apa mau mereka.
Saat
mengikuti komunitas itu Anna jadi semakin beringas dan semakin membangkang.
Penampilan awut-awutan, bau tidak karuan, tak teratur dalam keseharian dan
semakin acak-acakan.
Usaha untuk mengendalikan
pergaulannya pun dilakukan,
namun ibarat kuda liar yang semakin dikekang semakin berontak, seperti itulah
anaknya. Dia bahkan sudah berani mencuri uang bapak atau uang
kakaknya yang kedua untuk hal-hal yang tidak jelas. Dan yang membuat saya sangat sedih
adalah, dia mulai berani kepada ibu, bukan hanya berani membentak, namun sudah
main tangan ke ibu jika dinasehati. Berani memukul maupun menampar di luar
pengetahuan saya. Saya sudah tak bisa terima jika sudah ke tahap itu.
Saya sampai mengultimatum
anak itu, bahwa selamanya saya tidak akan pernah menemuinya lagi, tak akan melihat wajahnya lagi. Bahkan hanya ada dua pilihan, saya
akan menemuinya lagi ketika akhirnya dia bertobat dengan kesungguhannya, atau ketika dia mati
dengan kesesatannya. Sudah sampai segitu marahnya saya padanya saat
itu.
Saya menduga, pergaulan dan teman-temannya lah yang memberinya pengaruh buruk. Tapi semakin diupayakan menjauhkan mereka darinya, malah
semakin bandel dan menjadi-jadi. Sangking gregetan, saya sampai berandai-andai
buat membinasakan teman-temannya itu.
Kami 4
bersaudara, 3 laki-laki 1 perempuan. Yang 3 laki-laki semuanya jadi anak yg
baik gak bermasalah, hanya 1 yang bermasalah dan malah yang perempuan.
Tidak
ada orang yang ia segani, semuanya dilawan. Agak mendingan ketika saya ada di
rumah, karena dia tak akan berani bertindak seperti biasanya jika
ada saya. Agak segan. Namun jika saya tak ada, dia akan kembali bertingkah. Saya sempat yakin
bahwa mungkin hanya saya yang bisa mengubahnya, karena dia masih ada sedikit segan kepada saya.
Saya
berusaha lembut padanya dan senantiasa berdoa, namun sepertinya belum diberikan
hasil. Dan akhirnya muncul statement ultimatum itu. Bahkan sempat terfikir untuk menjauhkan dia dari keluarga. Mungkin dengan membuatnya
merantau atau kasarnya membuatnya minggat. Dan jangan kembali
sebelum taubat.
Saya tak
ingin ibu saya tersakiti hatinya tiap hari. Namun ternyata ibu malah tidak mau. Kata beliau, seperti
apapun, seorang ibu ingin tetap berkumpul dengan anak-anaknya, tak ada kata
memisahkan hubungan meskipun sementara.
Saya
sempat bertanya-tanya lagi, apakah sosok Mas Gagah itu memang ada di dunia ini?
Apakah ada figur yang begitu sabar dan elegan dalam mendakwahi adiknya seperti
dia? Saya sempat ragu karena saya sendiri sudah hampir kehilangan kesabaran
menghadapi adik saya. Mana mungkin saya bisa menjadi Mas Gagah jika keadaan
seperti itu?
Pada
akhirnya hanya bisa berdoa dan ikhtiar semampunya. Saling menguatkan di antara
anggota keluarga. Sambil jalan lah pikir saya saat itu. Saya jadi menyadari
bahwa saya memang tak bisa memaksakan kehendak melawan kuasa-Nya.
Semua
akan indah pada waktunya. Ituah keyakinan saya.
Saya
tetap berusaha istiqomah menyebarkan pesan melalui kartun-kartun muslimah
Kawanimut. Sedikit-sedikit namun pasti. Saya berharap Anna juga melihatnya
karena salah satu sasaran saya adalah dia. Dan ternyata dia memang biasa
memantau kegiatan saya di berbagai media sosial.
Dia
sekarang bekerja sebagai sopir truk angkut kayu Jogja-Magelang. Meskipun
perempuan, dia memang anak yang kuat fisik dan mentalnya. Dia tegar. Bahkan
sangat tegar. Berbagai persoalan hidup pernah dia alami, berbagai jalan hidup
juga pernah dia lalui. Dan saya hanya bisa mendoakannya agar dia selalu sehat
dan dilindungi.
Saya
berharap hidayah itu segera datang padanya entah melalui jalan lain atau
melalui saya. Dan Alhamdulillah hasil tak pernah menghianati ikhtiar karena Allah
tidak pernah mengabaikan doa dan usaha hamba-Nya. Sesuai harapan saya, Anna
rajin memperhatikan pesan-pesan dan contoh-contoh yag saya sampaikan di
berbagai media sosial saya, mempelajari sedikit demi sedikit dan ada pula yang
mulai diamalkan. Bahkan adab dalam pergaulan pun mulai dia contoh seperti saat
tema-teman saya datang beberapa waktu lalu. Dia tahu bahwa saya tak bersalaman
dengan yang bukan mahram, dan dia pun menirunya dengan tidak bersalaman dengan
teman-teman saya yang laki-laki.
Dia
sudah mulai berubah. Berubah lebih baik tentunya. Tak langsung total seideal di
kisah cerpen, namun pelan-pelan. Dan saya sudah sangat bersyukur karenanya.
Bahwa adik perempuan saya sudah mulai dewasa pemikirannya, sudah menjadi anak
yang sayang kepada orangtuanya, sudah tak keluyuran seperti sebelumnya dan
bahkan sudah mulai telaten memakai jilbab dan gamis pemberian saya. Belum
sempurna karena terkadang masih “kumat” kebiasaannya. Saya maklum. Bukan
perkara mudah untuk cepat berubah. Saya berdoa semoga dia senantiasa istiqomah,
belajar menjadi lebih baik sampai kemudian menjadi yang terbaik.
Dan pada
fase ini saya jadi mengulangi lagi pertanyaan saya sebelumnya, apakah ada sosok
yang seperti Mas Gagah di dunia ini? Jawabnya, ada dan yakinlah bahwa di luar
sana ada begitu banyak Mas Gagah lain yang berjuang dengan cara masing-masing.
Apakah saya harus pergi dahulu seperti Mas Gagah agar
adik perempuan saya juga mendapat hidayah? Jawabnya, tidak harus, karena saya
masih bisa mendampingi dan mengawal dia menuju kesempurnaan akhlaknya.
Apakah saya harus mati dahulu agar adik perempuan saya
mendapatkan kesadaran sepenuhya? Jawabnya, tidak harus, karena datangnya
hidayah tak selalu diplot dengan kisah yang sama. Dan Alhamdulillah Allah Maha Pemurah
dimana Dia masih memberi saya jatah umur dengan segala anugeran-Nya.
Apakah saya yang cungkring ini juga pantas disebut Mas
Gagah? Jawabannya ada di adik saya saat dia menyadari bahwa kakaknya sangat
mencintainya dengan segala doa dan ikhtiarnya.
Dahsyat kan efek hikmah cerita yang disuguhkan dalam
kisah Ketika Mas Gagah Pergi?
Kini kisah itu diwujudkan secara visual dalam bentuk
film. Pembuatannya tak main-main. Aktor dan aktris pemeran utamanya pun
dipilihkan yang masih gress dan ideal sesuai karakter tokoh cerita. Alur dan
isi ceritanya diusahakan sama persis tanpa keluar dari idealisme aslinya. Bahkan
penulisnya rela membatalkan berbagai kontrak dengan beberapa production house
demi mempertahankannya.
Istimewanya lagi, dana pembuatannya berasal dari
patungan bersama dan itu tak pernah terjadi di proses pembuatan film-film
sebelumnya. Ibarat dari kita untuk dunia, sebagian besar hasil dari film ini
nantinya juga akan digunakan untuk kepentingan sosial. Seperti untuk membantu
pendidikan anak-anak Palestina, Pendidikan anak-anak Indonesia Timur, dan untuk
penghijauan.
Jadi berlipat amalnya ketika nonton film ini. Bisa
mendukung karya anak bangsa yang mendidik sekaligus manfaat, bisa turut
melestarikan lingkungan hidup yang kuat dan bisa berdedekah untuk kepentingan
ummat.
Jadi
apakah masih ragu untuk menonton filmnya di hari pertama?
Catat
ya, mulai tanggal 21 Januari 2016.
MasyaAllah,tercenung dg kisah Anna dan perubahannya,luar biasa
BalasHapus^_^
Hapus