Alhamdulillah
Telah usai rangkaian acara Milad
19 Forum Lingkar Pena yang berlangsung di Jogjakarta. Namun gaungnya sampai
kini masih terasa. Masih terlintas di benak saat melihat sendiri panitia
bersusah payah menyiapan acara, mengaturnya sedemikian rupa dan mengemasnya
dengan begitu meriahnya.
Salut pokoknya.
Namun beberapa hari menjelang
acara sempat ada orang hebat yang
mengungkapkan kekesalannya. Kekesalan itu ia tujukan kepada logo milad 19 FLP
yang kebetulan saya sendiri yang membuatnya. Ia upload di FBnya, ia undang
teman-temannya agar mengomentarinya lalu mereka jadikan bahan tertawaan
bersama. Bahkan tak segan mengoloknya dengan segala sebutan.
Wajar, karena memang masih jelek
dan jadul banget. Apalagi logo tersebut hanya dibuat dalam waktu 15 menit tanpa
berpikir panjang. Pembuatnya ini juga bukan desainer pro seperti pengupload dan
komentator-komentator disana, yang jika dilihat profil mereka, tampaknya sudah
kelas elit dalam perdesainan. Kalau saya kan hanya guru bahasa inggris yang “nyambi-nyambi”.
Excuse memang, tapi begitulah kenyataannya.
Saat itu Badan Pengurus Pusat FLP minta agar logo
milad dibuat cepat-cepat dan ketika baru dibuat satu usulan, langsung dipakai
meskipun sebenarnya masih memungkinkan untuk direvisi lagi.
Awal mulanya logo diinginkan yang
bertema “Membumikan Sastra Santun” sehingga dibuat logo dengan komponen siluet
bumi dan pena berbentuk angka 19. Namun kemudian tema berubah menjadi “Sastra
Santun di Era Digital”, maka saat itu juga pena yang menjadi angka satu di logo
diubah menjadi serangkaian perangkat digital. Bukan asal dan tanpa maksud,
penggantian pena menjadi perangkat digital itu sendiri dikarenakan di era
digital sekarang penulis sudah jarang yang menulis menggunakan ballpoin,
apalagi pena. Kebanyakan sudah menggunakan beragam jenis gajet seperti PC,
laptop, tab, smartphone dan segala macam.
Revisi kedua ini masih
memungkinkan untuk dikembangkan lagi, tapi saat itu para Suhu di BPP sudah tak
sabar untuk segera Launching acara dengan mengupload logonya. Alhasil, logo itu
langsung dipakai begitu saja.
Jadi harap maklum. Bahkan kejadian ini kasusnya
hampir sama dengan pembuatan logo baru FLP yang saat itu langsung diapprove
oleh pendirinya dan hasilnya juga menimbulkan pro dan kontra di dalam FLP
sendiri. Meskipun pada akhirnya juga tetap logo tersebut yang dipakai sampai
sekarang.
Hal yang sama kemudian terjadi
pada logo milad 19 FLP ini. Dikatakan tak up to date, tak relevan, kurang
greget, tak mewakili visi dakwah FLP dan segala macam. Menurut orang hebat itu
logo milad FLP yang sekarang jadi seperti pameran komputer. Dia kecewa kenapa
di era desain yang sekarang kebanyakan sudah bernuansa flat, masih ada yang
seperti ini. Sampai berandai jika logo tersebut akan lebih bagus jika
mengandung unsur logo sosmed dan ada kursornya.
Bahkan sampai detik inipun logo tersebut masih ia bawa kemana-mana, ia tunjukkan ke orang-orang sebagai bahan olok-olok’an dan tertawaan. Saya sadar sepenuhnya, mungkin saking cintanya pada FLP, jadi hanya menginginkan yang terbaik dan sempurna bagi FLP, meskipun kini sudah tak menjadi bagian dari FLP lagi. Jadi mohon maaf jika mengecewakan dan membuat kesal hasilnya.
Saya pun masih butuh bimbingan dan contoh dari para
expert sepertinya.
Namun saat acara berlangsung dan 4 pembicara mengemukakan
materi masing-masing, ternyata tak jauh-jauh dari pesan di logonya. Angka 1
yang diejek seperti pameran toko komputer dalam logo itu justru mewakili apa
yang disampaikan oleh para pembicara.
Materi yang disampaikan dalam seminar kemarin benar-benar membahas
hubungan perangkat-perangkat di angka satu itu dengan dunia sastra kekinian.
Memang benar bahwa penulis sekarang lebih banyak menggunakan
perangkat-perangkat itu untuk menulis, menggantikan pena dan ballpoin. Bahkan
dibahas juga dari sudut pandang kritik sastra. Ranah puisi misalnya. Dalam
kritik sastra, bentuk puisi itu mempengaruhi makna dari puisi itu sendiri.
Ketika seorang sastrawan menulis puisi di perangkat smartphone dengan ukuran
layar tertentu, maka dia juga harus mempertimbangkan bentuk penulisannya ketika
dibaca di perangkat yang lebih besar semacam tab, laptop atau PC. Karena bentuk
paragrafnya akan lain dan maknanya juga akan lain. Para praktisi kritik sastra
pun sudah mulai mengkaji keterkaitan dalam hal ini (M. Irfan Hidayatullah)
Justru usulan mengenai penyertaan logo sosmed dan kursor
yang jadi tidak relevan ketika menyaksikan seminar kemarin. Bahkan tak
berhubungan sama sekali dengan kesusastraan di dunia digital. Mana ada orang menulis mengunakan kursor. Ada materi
tentang sosial media dari CEO moco.co.id namun terbatas pada personal branding
dan kampanye giat membaca. Dan alat yang dipakai pun tetap seputar angka satu
pada logo itu yang tersusun dari beberapa jenis perangkat digital.
Moco.co.id juga menawarkan penerbitan buku digital (E-book) dengan
aplikasi reader buatan mereka. Dan kemana lagi muaranya? Muaranya ya tetap
perangkat digital di angka satu itu.
Dalam hal ini, perangkat-perangkat di atas ternyata tak
hanya menggantikan posisi pena bagi seorang penulis, tapi juga menggantikan
fungsi kertas dalam menulis, dan menggantikan fisik buku bagi pembacanya.
E-book yang dihasilkan tak bisa dicetak dan hanya bisa diakses dengan
perangkat-perangkat di atas. Karena jika e-book dicetak secara fisik, namanya
sudah bukan e-book lagi.
Saya akui logo yang saya buat memang jelek. Jelek sekali.
Tapi maaf, tuduhan dan cacian yang pernah terlontar sebelumnya ternyata
meleset, penilaian dan interpretasi yang pernah terucap ternyata gugur. Silakan
saja jika belum puas menjadikannya sebagai bahan olokan dan dibawa kemana-mana.
Saya justru senang jadi banyak menemukan kelemahan saya sendiri.
Saya sangat berterimakasih atas perhatiannya yang dikemas
dengan cara yang demikian.
Terimakasih juga sudah meluangkan waktu untuk
membahasnya dimana-mana ^_^.
Untuk para Tetua, mohon maaf atas segala kekurangan diri ini. Doakan semoga senantiasa berproses menjadi baik, lebih baik sampai jadi yang terbaik.
NB: Postingan yang bersangkutan sepertinya telah dihapus/diubah privasinya. Jadi postingan ini saya upload ulang sebagai pengingat saja.
Kritik & masukan juga merupakan bentuk penghargaan atas sebuah eksistensi. Banyak orang besar eksis diawali dg kritikan atas karya2nya. Bertahan & terus berkarya membuatnya menjadi lebih hebat. Tetap semangat!
BalasHapusYups. Ini saya torehkan sebagai pengingat saja bahwa saya masih jauh dari sempurna, dan agar saya bisa lebih ahsan ketika memberi masukan. Agar saya tak meniru caranya dalam memberi kritikan.
HapusPuk-puk Mas Datang, jangan masuk ke hati banget ya.FLP akan berkembang tidak krn cacian logo. Tapi dg karya.
BalasHapusYups. Mulanya saya sudah tak menggubris lagi dengan postingannya, dan saya pun sudah mengakui kalau hasilnya memang jelek, butuh contoh dan bimbingan dan sudah berterimakasih sudah meluangkan waktu untuk membahasnya. Dan tak direspon.
HapusTapi sampai detik ini pun yang bersangkutan Masih membawanya kemana-mana dan dijadikan bahan tertawaan Jadi bertanya, sebenarnya apa maunya? Ini saya torehkan sebagai pengingat saja bahwa saya masih jauh dari sempurna, dan agar saya bisa lebih ahsan ketika memberi masukan. Agar saya tak meniru caranya dalam memberi kritikan.
wah, jadi berasa ikutan miladnya deh :)
BalasHapusma kasih mas danang yo infonya
Salam kenal dari #BloggerBorneo, kebetulan kemarin diundang juga dalam kegiatan Milad FLP 19 Kalimantan Barat. Ternyata begitu di searching untuk kata kunci ini banyak yang membuat tulisan dengan tema sama. Met milad buat FLP untuk seluruh perwakilan provinsi, semoga semakin tambah eksis dan jaya. Amin...
BalasHapusAamiin. Terimakasih ya
Hapus